“Pilkada Dikorupsi? Prabowo Usulkan Penghapusan Pemilihan Langsung!”


JAKARTA – Pada 12 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto mengajukan wacana untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dari sistem pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dalam pidatonya saat memperingati HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Prabowo menyampaikan bahwa pemilihan langsung membutuhkan biaya besar dan dianggap kurang efisien. Menurutnya, pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota oleh DPRD dapat mengurangi pengeluaran anggaran serta menghemat waktu, sehingga sumber daya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih mendesak bagi kepentingan nasional.

Namun, usulan ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan yang mengkhawatirkan berkurangnya prinsip demokrasi langsung, yang selama ini dianggap sebagai tonggak utama sistem pemerintahan. Pemilihan langsung oleh rakyat dipandang sebagai simbol kedaulatan rakyat dan sarana demokrasi yang transparan. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, ada kekhawatiran kekuasaan akan terpusat pada elit politik, yang berpotensi tidak merepresentasikan aspirasi rakyat secara luas.

Salah satu kritik datang dari masyarakat, dalam wawancara dengan media lokal.

“Pemilihan langsung adalah hak dasar rakyat untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Mengembalikan mandat itu ke DPRD bukan hanya langkah mundur, tapi juga membuka pintu bagi pemilihan yang lebih rawan manipulasi karena terbatasnya kontrol publik,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa biaya pemilu memang besar, tetapi efek jangka panjang dari demokrasi yang kuat jauh lebih berharga daripada penghematan sementara.

Tidak hanya dari kalangan akademisi, namun juga dari masyarakat yang mengekspresikan ketidaksetujuannya melalui berbagai platform media sosial. Misalnya, di X, ada banyak posting yang menunjukkan keprihatinan atas usulan ini.

Seorang pengguna dengan handle @RakyatBerdaulat menulis, “Kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD? Ini seperti ingin mematikan suara rakyat. Efisiensi biaya tidak seharusnya menjadi alasan membungkam demokrasi kita.”

Selain itu, ada juga kekhawatiran mengenai potensi korupsi dan kolusi yang semakin besar jika pemilihan dilakukan oleh DPRD. Seorang aktivis anti-korupsi, dalam wawancara dengan stasiun televisi nasional, menyatakan, “Sistem ini bisa menjadi celah baru bagi praktik-praktik kotor. Bayangkan berapa banyak permainan politik yang bisa terjadi di balik pintu tertutup tanpa pengawasan masyarakat.”

Dari sisi hukum, beberapa peneliti konstitusi yang kami temui, mengkritik bahwa usulan ini tampaknya tidak mempertimbangkan konstitusi dengan baik. “Undang-Undang Dasar kita memang tidak eksplisit mengatur metode pemilihan kepala daerah, namun prinsip demokrasi langsung telah diakui dan dijalankan selama ini. Mengubahnya tanpa konsultasi luas adalah sesuatu yang patut dipertanyakan,” katanya.

Di samping itu, ada juga kritik dari segi keadilan geografis. Daerah-daerah terpencil atau yang kurang terwakili mungkin akan lebih terabaikan jika pemilihan kepala daerah hanya berdasarkan keputusan DPRD yang seringkali didominasi oleh kepentingan politik tertentu.

Seorang netizen di X dengan handle @PeduliDPRD menulis, “Kalau ini terjadi, suara dari daerah pedalaman dan kepulauan akan semakin tidak terdengar. Lagi pula, apakah efisiensi yang dimaksud benar-benar efisiensi atau hanya efisiensi bagi segelintir elit?”

Kritik ini juga didukung oleh beberapa kelompok masyarakat sipil yang menyatakan bahwa keputusan ini membutuhkan kajian mendalam, konsultasi publik yang luas, dan evaluasi dampak sosial yang signifikan. Mereka mendesak untuk adanya diskusi publik yang transparan dan inklusif sebelum ada perubahan sistem yang signifikan ini dilakukan.

Dengan berbagai alasan di atas, banyak yang menentang usulan Prabowo, menganggapnya sebagai langkah yang berpotensi merusak demokrasi dan keadilan di Indonesia.

Meskipun efisiensi biaya dan pengelolaan sumber daya adalah hal yang penting, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah didirikan dengan perjuangan panjang.

Kritik-kritik ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat luas terhadap arah demokrasi di Indonesia dan pentingnya menjaga sistem yang memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka sendiri.

Jusuf Kalla: “Pencalonan Agung Laksono sebagai Ketua Umum PMI Ilegal”


Jakarta – Ketua Umum Palang Merah Indonesia, Jusuf Kalla, mengatakan pencalonan Agung Laksono sebagai ketua adalah tindakan yang melawan hukum.

“Itu ilegal dan pengkhianatan,” kata Jusuf Kalla saat ditemui wartawan usai membuka Musyawarah Nasional PMI di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Senin, 9 Desember 2024.

Jusuf Kalla juga menyinggung Agung Laksono sebelumnya pernah berusaha memecah Partai Golkar dengan mendirikan organisasi Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957.

Jusuf Kalla sendiri merupakan calon tunggal Ketua PMI periode 2024-2029, setelah diminta secara aklamasi oleh peserta munas untuk menjadi ketua. Soal pencalonan Agung Laksono yang disebut ilegal, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menyebut sudah melaporkannya ke kepolisian.

Tidak hanya itu, Jusuf Kalla juga mengatakan beberapa anggota PMI yang menyatakan dukungan kepada Agung Laksono sudah dipecat.

“Hanya beberapa orang di situ (yang mencalonkan Agung Laksono), itu sudah dipecat. Kita sudah pecat, karena melanggar AD/ART,” ucap Jusuf Kalla.

Dalam Sidang Pleno Kedua Musyawarah Nasional (Munas) ke-22 Palang Merah Indonesia (PMI) tahun 2024 yang digelar Minggu malam, 8 Desember 2024 di Jakarta, para peserta memutuskan menerima laporan pertanggungjawaban Ketua Umum PMI, Jusuf Kalla, dan secara aklamasi meminta beliau kembali menjabat sebagai Ketua Umum PMI, untuk periode 2024-2029.

Ketua Sidang Pleno Kedua, Adang Rocjana, yang juga Ketua PMI Jawa Barat, menjelaskan bahwa mayoritas dari 490 peserta Munas menyatakan dukungan penuh terhadap kepemimpinan Jusuf Kalla.

“Dari 490 peserta yang hadir, yang merupakan perwakilan dari 34 PMI provinsi dan satu Forum Relawan Nasional (Forelnas), memberikan tanggapan positif terhadap laporan pertanggungjawaban Ketua Umum PMI dan mendukung Jusuf Kalla untuk kembali memimpin PMI,” ujar Adang Rocjana.

Ketua Panitia Munas Fachmi Idris mengatakan Jusuf Kalla merupakan calon tunggal Ketua PMI 2024-2029.

“Merujuk pasal 66 ayat 1 dan 2 Anggaran Rumah Tangga PMI, berdasarkan laporan yang masuk, terdapat dua calon ketua umum, yaitu Agung Laksono dan Jusuf Kalla.

“Sampai batas waktu yang ditetapkan, surat dukungan yang masuk untuk Agung Laksono tidak sampai 20 persen dari suara jumlah utusan yang berhak hadir. Sehingga gugur menjadi bakal calon,” ucap Fachmi.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pengawas Komite Donor Darah Indonesia (KDDI) Agung telah mendeklarasikan diri maju sebagai bakal calon Ketua Umum PMI pada Munas ke-22 PMI di Jakarta. Agung mengaku dirinya sudah memenuhi syarat sebagai calon ketua umum yang diatur dalam Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga PMI.

Agung juga mengklaim mendapat dukungan mayoritas untuk menjadi Ketua Umum PMI dari para pengurus di daerah.

“Dukungan berkembang terus. Sampai kemarin lebih dari 250 dukungan, sudah lebih dari 50 persen,” kata Agung usai mendeklarasikan dirinya sebagai calon Ketua PMI di Jakarta Barat, Sabtu, 7 Desember 2024.

Sumber: tempo.co